Biduk cintaku akan berlabuh

Penantian dan perjuangan panjang perjalanan ini akhirnya akan terhenti.
Dan akan mulai berlabuh dengan sebuah biduk, layarnya akan terkembang.
Ada harapan dan asa
Mohon do'a restunya...
Photobucket Selengkapnya...

Berhentilah Menanyakan Rangking

“Anak saya rangking berapa Pak?

Sebuah kata yang semua orang tua murid ucapkan sama dihari penerimaan raport. Bukannya heran. Namun semua sudah saya persiapkan. Total nilai di urut berdasarkan total penilaian selama satu semester. Dan itulah yang sering ditanyakan oleh orang tua murid.

Bukan hanya orang tua murid yang sering menanyakan hal itu. Ketika seorang anak dikenalkan dengan keluarga lain atau kolega orang tua, pertanyaan yang sering muncul juga tidak jauh berbeda, menanyakan “Kamu rangking berapa di sekolah?”

Bagi saya...

Rangking bukanlah hal yang begitu penting. Sebab rangking bukanlah jaminan bahwa seorang anak akan mampu menjalani kehidupannya kelak. Namun, bagi saya begitu banyak hal yang lebih penting dan membuat hati bergemuruh dan air mata menetes.

Berikut cerita itu...

Ketika gempa Jogja terjadi, di sekolah diadakan penggalangan dana untuk turut membantu. Begitu juga dikelas III Khandaq. Setelah di informasikan bahwa di Kota Jogja telah terjadi gempa kepada seluruh anak-anak maka semua sepakat bahwa besok mereka akan memberikan sumbangan ala kadarnya, yang nantinya sekolah akan sampaikan kepada lembaga PKPU (Pos Keadilan Peduli Ummat). Yah, ala kadarnya. Besoknya, sudah begitu banyak sumbangan berupa uang yang telah di berikan oleh anak-anak, tanpa kecuali. Namun, ada satu yang membuat hati ini bahagia, Wandah yang menurut penilaian beberapa guru tidak begitu menonjol di akademiknya ternyata dengan rela merogoh semua isi tabungannya untuk membantu Jogja. Yah... semuanya tanpa sisa.

Lain lagi, ketika Palestina kembali bergejolak. Sengaja dalam pelajaran PAI ada materi tentang ukhuwah. Maka, mengandalan VCD pinjaman dari teman yang berjudul “Anak Palestina menulis sejarah dengan darah”, kami pun mengajak seluruh anak kelas III untuk menyaksikannya di ruang laboratorium. Sebelum menyaksikan film tersebut, kami memberikan sedikit pengantar tentang ukhuwah, dan seperti layaknya anak-anak yang lain tetap saja ada yang mengganggu teman disebelahnya. Suasana langsung berubah ketika film sudah dimulai. Semua mata tertuju kepada TV 29”. Semua mulut terkatup dan satu persatu mata mereka berair, tak tahan melihat bagaimana perjuangan saudara-saudara mereka di bumi Palestina. Dan yang membuat hati ini makin bergemuruh, Rifqah ternyata mengepalkan tangan kanannya sambil memukulkan ke tangan kiri dengan mata yang masih merah sembab. “Ya Allah... semoga mereka sadar, Islam itu indah dengan ukhuwah” do’aku dalam hati.

Apakah semua ini masih kurang? Bila dibandingkan angka-angka yang ada dalam raport. Yah... waktulah yang menjawabnya.

Selengkapnya...

Guru SD ji lagi

Subhanallah. Allahu Akbar.
Kata itu terdengar di telingaku. Dari seorang yang katanya lulusan S3. Entah dengan motivasi apa kata-kata itu keluar dengan entengnya. Apakah karena menyepelekan profesiku sebagai guru SD, atau karena dengan motivasi lain. Darah dan emosiku langsung naik, meluap-luap tak tertahankan.
Guru SD adalah lentera jiwaku. Apakah memang menjadi guru SD adalah sebuah profesi yang rendah dibandingkan dengan profesi dosen di sebuah universitas tinggi di kota ini? Entahlah, tapi begitu banyak kasus yang saya temui di sekolah seorang dosen lulusan terbaik di univeritasnya dan sempat mengeyam pendidikan di negeri jiran dan beberapa negara lainnya ternyata tidak bisa mendidik anaknya sendiri dengan baik. Akademis jebol dan akhak yang tidak bisa dikatakan tidak berbeda jauh dengan anak tukang becak.

Subhanallah, kata itu saya dengar semalam, emosi ini belum juga reda sampai pagi ini. Kata-kata itu mengganggu tidurku. Bukan tanpa alasan, menyepelekan guru SD sama saja dengan menyepelekan diri kita sendiri. Memang menjadi guru SD di negeri ini tidak bisa memberikan kebebasan finansial juga belum bisa memberikan kebebasan waktu bagi orang menjalaninya. Negeri ini cukup memberikan gelar “Pahlawan tanpa tanda jasa” saja. Subhanallah. Tapi saya merasakan sendiri begitu banyak efek positif menjadi seorang guru dibandikan profesi lain. Menjadi guru SD itu sama saja menjadi segala-galanya. Pendidik, orangtua, psikolog, dokter, motivator, penyanyi, pelukis, penari, olahragawan, sekretaris, desainer, penulis buku dll.
Teringat dengan adegan di film “Get Merrit” ketika Mae diperkenalkan dengan seorang guru SMP, gambarannya sangat rendah, dengan motor keluaran tahun 70’an dia kerumah Mae, dengan dandanan nyentrik serta terbayang di kepala Mae kalau penghasilan seorang guru tidak bisa mencukupi kebutuhan bulanan. Masya Allah. Serendah itukah seorang guru di hargai di negeri ini?
Bukannya saya emosional mendengarkan kata itu. Saya bisa menjadi saksi di pengadilan akhirat kelak, bagaimana pengorbanan seorang guru. Seorang ibu guru harus merelakan waktu liburnya karena harus menyelesaikan buku Lembar Kegiatan (LK) dari pagi sampai larut malam di sekolah. Padahal saya tahu bahwa penghasilannya hanya lewat sedikit dari UMR. Subhanallah. Belum lagi ketika seorang guru, ketika dokter telah memvonisnya dengan kanker di tubuhnya sudah mulai menjalar ke bagian tubuh lainnya, harus tetap ke sekolah karena tidak tega anak didiknya terlantar tanpa guru di sekolah. Belum lagi yang harus merelakan waktunya berkumpul dengan keluarga ketika ada kegiatan tambahan di sekolah seperti mabit yang mengharuskan mereka menginap di sekolah, yang artinya mengurangi waktu tidur karena anak-anak susah tidur.
Siapa pun anda. Seorang lulusan universitas apa pun anda. Apapun gelar anda. Sebesar apapun penghasilan anda. Tolong jangan pendengarkan kata itu di telinga kami para guru SD ini. Jangan melemahkan jiwa dan semangat kami. Sebab kami menemukan sebuah kebahagiaan yang tak terkira ketika melihat anak didik kami menjadi pahlawan dan penentu kebijakan di negeri ini kelak. Hanya kepada anak didiklah kami berharap mereka akan memperbaiki negeri ini, bukan kepada anda yang rusak jiwa dan moralnya. Hanya kepada merekalah kami menambatkan asa melihat negeri ini bisa lebih baik.
Sekali lagi jangan katakan kalimat itu!

Selengkapnya...

;;