Berhentilah Menanyakan Rangking

“Anak saya rangking berapa Pak?

Sebuah kata yang semua orang tua murid ucapkan sama dihari penerimaan raport. Bukannya heran. Namun semua sudah saya persiapkan. Total nilai di urut berdasarkan total penilaian selama satu semester. Dan itulah yang sering ditanyakan oleh orang tua murid.

Bukan hanya orang tua murid yang sering menanyakan hal itu. Ketika seorang anak dikenalkan dengan keluarga lain atau kolega orang tua, pertanyaan yang sering muncul juga tidak jauh berbeda, menanyakan “Kamu rangking berapa di sekolah?”

Bagi saya...

Rangking bukanlah hal yang begitu penting. Sebab rangking bukanlah jaminan bahwa seorang anak akan mampu menjalani kehidupannya kelak. Namun, bagi saya begitu banyak hal yang lebih penting dan membuat hati bergemuruh dan air mata menetes.

Berikut cerita itu...

Ketika gempa Jogja terjadi, di sekolah diadakan penggalangan dana untuk turut membantu. Begitu juga dikelas III Khandaq. Setelah di informasikan bahwa di Kota Jogja telah terjadi gempa kepada seluruh anak-anak maka semua sepakat bahwa besok mereka akan memberikan sumbangan ala kadarnya, yang nantinya sekolah akan sampaikan kepada lembaga PKPU (Pos Keadilan Peduli Ummat). Yah, ala kadarnya. Besoknya, sudah begitu banyak sumbangan berupa uang yang telah di berikan oleh anak-anak, tanpa kecuali. Namun, ada satu yang membuat hati ini bahagia, Wandah yang menurut penilaian beberapa guru tidak begitu menonjol di akademiknya ternyata dengan rela merogoh semua isi tabungannya untuk membantu Jogja. Yah... semuanya tanpa sisa.

Lain lagi, ketika Palestina kembali bergejolak. Sengaja dalam pelajaran PAI ada materi tentang ukhuwah. Maka, mengandalan VCD pinjaman dari teman yang berjudul “Anak Palestina menulis sejarah dengan darah”, kami pun mengajak seluruh anak kelas III untuk menyaksikannya di ruang laboratorium. Sebelum menyaksikan film tersebut, kami memberikan sedikit pengantar tentang ukhuwah, dan seperti layaknya anak-anak yang lain tetap saja ada yang mengganggu teman disebelahnya. Suasana langsung berubah ketika film sudah dimulai. Semua mata tertuju kepada TV 29”. Semua mulut terkatup dan satu persatu mata mereka berair, tak tahan melihat bagaimana perjuangan saudara-saudara mereka di bumi Palestina. Dan yang membuat hati ini makin bergemuruh, Rifqah ternyata mengepalkan tangan kanannya sambil memukulkan ke tangan kiri dengan mata yang masih merah sembab. “Ya Allah... semoga mereka sadar, Islam itu indah dengan ukhuwah” do’aku dalam hati.

Apakah semua ini masih kurang? Bila dibandingkan angka-angka yang ada dalam raport. Yah... waktulah yang menjawabnya.

0 komentar: